Senin, 10 Mei 2010



PELAJARAN DARI RIWAYAT IBRAHIM

Walaupun orang Yahudi mengaku sebagai pelopor kafilah
penganut tauhid, riwayat ini tak masyhur di kalangan
mereka dan tidak beroleh tempat dalam Taurat yang ada
sekarang. Di antara kitab-kitab Ilahi, hanya Al-Qur'an
yang telah meriwayatkannya. Oleh karena itu, kami
sebutkan di bawah ini beberapa pokok yang mengandung
pelajaran bagi manusia, suatu hal yang memang merupakan
tujuan pokok Al-Qur'an ketika meriwayatkan sejarah
berbagai nabi.

1. Riwayat ini merupakan bukti yang jelas tentang
keberanian dan keperkasaan yang luar biasa dari kekasih
Allah (Ibrahim) ini. Tekadnya untuk menghancurkan
manifestasi dan sarana kemusyrikan tak dapat
disembunyikan dari rakyat Namrud. Dengan celaan dan
kecamannya, beliau telah menyatakan perlawanan dan
kebenciannya yang luar biasa terhadap penyembahan
berhala secara sangat nyata. Beliau mengatakan secara
terbuka dan jelas, "Apabila kamu tidak berhenti dari
praktek yang memalukan itu, aku akan membuat keputusan
tentang mereka." Dan pada hari kepergian orang-orang ke
hutan, beliau berkata secara terang-terangan, "Demi
Tuhan, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya
terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi
meninggalkannya." (QS, al-Anbiya', 21:57)

'Allamah Majlisi mengutip dari Imam Ja'far
ash-Shadiq, "Gerakan dan perjuangan satu orang melawan
ribuan orang musyrik merupakan bukti nyata akan
keberanian dan kesabaran Ibrahim, yang tidak
mengkhawatirkan jiwanya dalam mengangkat asma Allah dan
memperkuat dasar penyembahan kepada Tuhan yang Esa."
(lihat Bihar al-Anwar, V, hal. 130).

2. Sepintas nampak seakan penghancuran berhala oleh
Ibrahim merupakan pemberontakan bersenjata dan
permusuhan, tetapi dari percakapannya dengan para
hakim, terbukti bahwa gerakan ini sebenarnya mempunyai
aspek dakwah. Karena, beliau memandang bahwa sebagai
sarana terakhir untuk membangunkan kebijaksanaan dan
kesadaran hati nurani manusia, beliau harus
menghancurkan berhala-berhala itu, kecuali berhala yang
besar, dan meletakkan kapak di bahunya, supaya mereka
dapat mengadakan penyelidikan lebih jauh tentang
sebab-sebab insiden itu. Dan, sebagai ternyata pada
akhirnya, mereka hanya akan menganggap pandangan itu
sebagai ejekan, dan sama sekali tak akan percaya kalau
penghancuran itu dilakukan oleh berhala besar itu.
Dengan demikian, beliau dapat menggunakan hal itu untuk
mendakwahkan pendapatnya dengan mengatakan, "Menurut
pengakuan kalian sendiri, berhala besar itu tidak
mempunyai kekuasaan sedikit pun, lalu mengapa kalian
menyembahnya?" Ini menunjukkan bahwa sejak awal mula,
para nabi hanya menggunakan logika dan argumen sebagai
senjata mereka yang ampuh, dan itu senantiasa membawa
hasil. Kalau tidak, maka apa artinya penghancuran
berhala ketimbang bahaya bagi nyawa Ibrahim? Tindakan
ini tentulah mengandung makna besar bagi misinya, dari
sisi pandang alasan penalaran, sehingga beliau sedia
mengorbankan nyawanya untuk itu.

3. Ibrahim sadar bahwa sebagai akibat tindakannya,
hidupnya akan berakhir. Karenanya, menurut anggapan
umum, ia mestinya akan terguncang, menyembunyikan diri,
atau sekurang-kurangnya berjanji akan berhenti membuat
"lelucon." Tetapi, ia sepenuhnya menguasai semangat dan
emosinya. Misalnya, ketika memasuki kuil berhala, ia
mendekati setiap berhala dan menawarkan mereka makan,
secara olok-olok. Setelah ternyata sia-sia, beliau
menjadikan isi kuil berhala itu onggokan penggalan
kayu, dan menganggap semua itu sebagai sesuatu yang
benar-benar biasa saja, seakan-akan hal itu tidak akan
disusul oleh kematiannya sendiri. Ketika muncul di
pengadilan, beliau menjawab pertanyaan mereka,
"Sesungguhnya seseorang telah melakukannya. Pemimpinnya
ialah yang ini. Karena itu, tanyakanlah kepadanya jika
ia dapat berbicara." Lelucon demikian di hadapan
pengadilan hanya dapat muncul dari seseorang yang siap
sedia menghadapi segala kesudahan tanpa rasa takut atau
ngeri dalam hatinya.

Bahkan, yang lebih menakjubkan lagi ialah sikap
Ibrahim pada saat ia ditempatkan pada pelontar, dan
mengetahui dengan pasti bahwa ia segera akan berada di
tengah api -yang kayu bakarnya tadinya dikumpulkan
orang Babilon untuk melaksanakan upacara suci
keagamaan, dan yang nyalanya membubung dengan dahsyat
sehingga bahkan burung rajawali tak berani terbang di
atasnya. Pada saat itu, Malaikat Jibril turun dan
langit seraya menyatakan kesediaannya untuk memberikan
segala pertolongan kepada Ibrahim. Jibril berkata, "Apa
keinginanmu?" Ibrahim menjawab, "Aku mempunyai hasrat.
Tetapi aku tak dapat memberitahukannya kecuali kepada
Tuhanku." (lihat Al-'Uyun, hal. 136; al-Amali, oleh
Shaduq, hal. 274; Bihar al-Anwar, hal. 35). Jawaban ini
jelas menunjukkan keluhuran dan kebesaran rohani
Ibrahim.

Namrud menanti dengan cemas dan gelisah karena
dendam kesumatnya kepada Ibrahim. Ia begitu ingin
melihat bagaimana api menelannya. Pelontar disiapkan.
Dengan satu sentakan, tubuh Ibrahim, si jawara tauhid
Ilahi, terlempar ke api. Namun, kehendak Tuhan Ibrahim
mengubah neraka buatan itu menjadi taman dengan cara
yang amat mengejutkan mereka, sehingga Namrud tanpa
sengaja berpaling kepada Azar dan berkata, "Tuhan
Ibrahim mencintainya." (Tafsir al-Burhan, III, hal.
64).

Walaupun adanya kejadian itu, Ibrahim tak dapat
mendakwahkan agamanya dengan kebebasan penuh. Akhirnya,
pemerintah waktu itu memutuskan, setelah bermusyawarah,
untuk membuang Ibrahim. Ini membuka suatu bab baru
dalam kehidupan Ibrahim dan menjadi awal perjalanannya
ke Suriah, Palestina, Mesir, dan Hijaz.

BAB BARU DALAM KEHIDUPAN IBRAHIM

Pengadilan di Babilonia memutuskan membuang Ibrahim
dari negeri itu. Beliau pun meninggalkan tempat
kelahirannya, lalu pergi ke Mesir dan Palestina.
Amaliqa, yang menguasai wilayah-wilayah itu,
menyambutnya dengan hangat dan memberikan kepadanya
banyak hadiah, satu di antaranya adalah seorang budak
perempuan bernama Hajar.

Istri Ibrahim, Sarah, belum melahirkan anak hingga saat
itu. Oleh karena itu, ia menyarankan Ibrahim supaya
kawin dengan Hajar, dengan harapan kiranya beliau
diberkati seorang putra, yang akan menjadi sumber
kebahagiaan dan kesenangan mereka. Perkawinan
dilangsungkan, dan Hajar kemudian melahirkan seorang
putra yang diberi nama Ismai'l. Itu terjadi jauh
sebelum Sarah hamil dan melahirkan seorang putra yang
diberi nama Ishaq. (Lihat Sa'd as-Su'ud, hal. 41-42;
Bihar al-Anwar, hal. 118).

Setelah beberapa waktu, sebagaimana diperintahkan
Allah, Ibrahim membawa Isma'il dan ibunya, Hajar ke
selatan (Mekah), dan menempatkan mereka di suatu lembah
yang tak dikenal. Lembah ini tak berpenghuni, dan hanya
kafilah dari Sunah ke Yaman dan sebaliknya yang
memasang tenda di sana. Bila tidak ada kafilah, tempat
ini benar-benar sepi dan hanya merupakan hamparan pasir
membakar sebagaimana bagian-bagian tanah Arab lainnya.

Tinggal di tempat yang mengerikan itu sungguh sulit
bagi seorang perempuan yang telah melewatkan
hari-harinya di negeri Amaliqa. Terik gurun yang
membakar dan anginnya yang amat sangat panas memberikan
bayangan kematian di hadapan mata. Ibrahim sendiri
sangat prihatin atas kenyataan ini. Sementara memegang
kendali hewan tunggangannya dengan maksud mengucapkan
selamat tinggal kepada istri dan anaknya, air matanya
mengalir, dan ia berkata kepada Hajar, "Wahai.Hajar!
Semua ini dilakukan menurut perintah Yang Mahakuasa,
dan perintah-Nya tak dapat dilawan. Bersandarlah pada
rahmat Allah, dan yakinlah bahwa Ia tak akan menistakan
kamu." Kemudian Ibrahim berdoa kepada Allah dengan
penuh khusyuk, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini
negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dan
buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada
Allah dan Hari Kemudian." (QS, al-Baqarah, 2:126).

Ketika sedang menuruni bukit, Ibrahim menengok ke
belakang dan berdoa kepada Allah untuk mencurahkan
rahmat-Nya kepada mereka.

Walaupun perjalanan tersebut tampak sangat sulit dan
susah, di kemudian hari terbukti bahwa hal itu
mengandung makna yang amat penting. Di antaranya adalah
pembangunan Ka'bah yang memberikan dasar yang agung
bagi para penganut tauhid untuk mengibarkan panji
penyembahan kepada Allah Yang Esa di Arabia, dan
merupakan fundasi gerakan keagamaan yang besar, yang
akan mendapat bentuk di kemudian hari, yaitu gerakan
besar yang beroperasi di negeri ini melalui pengunci
segala nabi.

BAGAIMANA TERJADINYA SUMBER AIR ZAM-ZAM

Ibrahim mengambil kendali hewan tunggangannya. Dengan
air mata, ia memohon diri kepada tanah Mekah, Hajar,
dan putranya. Tetapi, tak berapa lama kemudian, makanan
dan minuman yang dapat diperoleh si anak dan ibunya
habis, dan air susu Hajar pun kering. Kondisi putranya
mulai merosot. Air mata mengucur dari ibu yang terasing
itu dan membasahi pangkuannya. Dalam keadaan amat
bingung, ia bangkit berdiri lalu pergi ke bukit Shafa.
Dari sana ia melihat suatu bayangan dekat bukit Marwah.
Ia pun lari ke sana. Namun, pemandangan palsu itu
sangat mengecewakannya. Tangisan dan keresahan putranya
tercinta menyebabkan ia lari lebih keras ke sana ke
mari. Demikianlah, ia berlari tujuh kali antara bukit
Shafa dan Marwah untuk mencari air, tetapi pada
akhirnya ia kehilangan semua harapan, lalu kembali
kepada putranya.

Si anak tentulah telah hampir sampai pada nafasnya yang
terakhir. Kemampuannya meratap atau menangis sudah
tiada. Namun, justru pada saat itu doa Ibrahim
terkabul. Ibu yang letih lesu itu melihat bahwa air
jernih telah mulai keluar dari bawah kaki Isma'il. Sang
ibu, yang sedang menatap putranya dan mengira ia akan
mati beberapa saat lagi, merasa sangat gembira melihat
air itu. Ibu dan anak itu minum sampai puas, dan kabut
putus asa vang telah merentangkan bayangannya pada
kehidupan mereka pun terusir oleh angin rahmat
Ilahi.(lihat Tafsir al-Qummi, hal. 52; Bihar al-Anwar,
II, hal. 100).

Munculnya sumber air ini, yang dinamakan Zamzam, sejak
hari itu, membuat burung-burung air terbang di atasnya,
membentangkan sayapnya yang lebar sebagai penaung
kepala ibu dan anak yang telah menderita itu.
Orang-orang dari suku Jarham, yang tinggal jauh dari
lembah ini, melihat burung-burung yang beterbangan ke
sana ke mari itu. Mereka lalu menyimpulkan bahwa telah
ada air di sekitarnya. Mereka mengutus dua orang untuk
mengetahui keadaan itu. Setelah lama berkeliling, kedua
orang itu sampai ke pusat rahmat Ilahi itu. Ketika
mendekat, mereka melihat seorang wanita dan seorang
anak sedang duduk di tepi suatu genangan air. Mereka
segera kembali dan melaporkan hal itu kepada para
pemimpin sukunya. Para anggota suku itu segera memasang
kemah mereka di sekitar sumber air yang diberkati itu,
dan Hajar pun terlepas dari kesulitan dan pahitnya
kesepian yang dideritanya. Isma'il tumbuh sampai dewasa
sebagai pemuda yang ramah. Ia pun mengadakan ikatan
perkawinan dengan wanita suku Jarham. Dengan demikian,
ia beroleh dukungan dan menjadi anggota masyarakat
mereka. Oleh karena itu, dari sisi ibu, keturunan
Isma'il berfamili dengan suku Jarham.

MEREKA BERTEMU KEMBALI

Setelah meninggalkan putranya yang tercinta di tanah
Mekah atas perintah Allah Yang Mahakuasa, kadang-kadang
Ibrahim berpikir untuk pergi melihat putranya. Pada
salah satu perjalanannya, ia sampai di Mekah dan
mendapatkan bahwa putranya tidak ada di rumah. Waktu
itu, Isma'il telah tumbuh menjadi lelaki dewasa dan
telah kawin dengan seorang gadis suku Jarham. Ibrahim
bertanya kepada istri Ismai'l, "Di mana suamimu?"
Perempuan itu menjawab, "Ia telah keluar untuk
berburu!" Kemudian Ibrahim bertanya kepadanya apakah ia
mempunyai makanan. Ia menjawab tak ada.

Ibrahim sangat sedih melihat kekasaran istri putranya.
Ia lalu berkata kepada menantunya itu, "Bila Isma'il
pulang, sampaikan kepadanya salam saya, dan katakan
pula kepadanya untuk mengganti ambang pintu rumahnya."
Kemudian Ibrahim pergi.

Ketika kembali, Isma'il mencium bau ayahnya. Dari
keterangan istrinya, ia menyadari bahwa orang yang
telah mengunjungi rumahnya adalah memang ayahnya. Ia
juga mengerti bahwa pesan yang ditinggalkan ayahnya
berati bahwa beliau (Ibrahim) menghendakinya
menceraikan istrinya sekarang dan menggantikannya
dengan yang lain, karena beliau memandang istrinya yang
sekarang tidak pantas menjadi kawan hidupnya.(lihat
Bihar al-Anwar, hal. 112, sebagaimana dikutip dari
Qishash al-Anbiya'))

Mungkin dapat dipertanyakan mengapa setelah melakukan
perjalanan sejauh itu, Ibrahim tidak menunggu sampai
putranya pulang dari berburu, tapi langsung pergi lagi
tanpa melihatnya. Para sejarawan menerangkan bahwa
Ibrahim pulang dengan tergesa-gesa karena telah
berjanji kepada Sarah bahwa beliau tak akan tinggal
lama di sana. Setelah perjalanan ini, ia juga
diperintahkan Allah Yang Mahakuasa untuk melaksanakan
suatu perjalanan lagi ke Mekah, untuk mendirikan Ka'bah
guna menarik hati orang yang beriman tauhid .

Al-Qur'an menyatakan bahwa menjelang hari-hari terakhir
Ibrahim, Mekah telah tumbuh menjadi sebuah kota,
karena, setelah menyelesaikan tugasnya, ia berdoa
kepada Allah, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri
yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari
menyembah berhala." (QS Ibrahim, 14:35). Dan ketika
tiba di gurun Mekah, ia berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah
negeri ini negeri yang aman sentosa." (QS al-Baqarah,
2:126).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar