| PELAJARAN DARI RIWAYAT IBRAHIM Walaupun orang Yahudi mengaku sebagai pelopor kafilah penganut tauhid, riwayat ini tak masyhur di kalangan mereka dan tidak beroleh tempat dalam Taurat yang ada sekarang. Di antara kitab-kitab Ilahi, hanya Al-Qur'an yang telah meriwayatkannya. Oleh karena itu, kami sebutkan di bawah ini beberapa pokok yang mengandung pelajaran bagi manusia, suatu hal yang memang merupakan tujuan pokok Al-Qur'an ketika meriwayatkan sejarah berbagai nabi.
1. Riwayat ini merupakan bukti yang jelas tentang keberanian dan keperkasaan yang luar biasa dari kekasih Allah (Ibrahim) ini. Tekadnya untuk menghancurkan manifestasi dan sarana kemusyrikan tak dapat disembunyikan dari rakyat Namrud. Dengan celaan dan kecamannya, beliau telah menyatakan perlawanan dan kebenciannya yang luar biasa terhadap penyembahan berhala secara sangat nyata. Beliau mengatakan secara terbuka dan jelas, "Apabila kamu tidak berhenti dari praktek yang memalukan itu, aku akan membuat keputusan tentang mereka." Dan pada hari kepergian orang-orang ke hutan, beliau berkata secara terang-terangan, "Demi Tuhan, sesungguhnya aku akan melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi meninggalkannya." (QS, al-Anbiya', 21:57)
'Allamah Majlisi mengutip dari Imam Ja'far ash-Shadiq, "Gerakan dan perjuangan satu orang melawan ribuan orang musyrik merupakan bukti nyata akan keberanian dan kesabaran Ibrahim, yang tidak mengkhawatirkan jiwanya dalam mengangkat asma Allah dan memperkuat dasar penyembahan kepada Tuhan yang Esa." (lihat Bihar al-Anwar, V, hal. 130).
2. Sepintas nampak seakan penghancuran berhala oleh Ibrahim merupakan pemberontakan bersenjata dan permusuhan, tetapi dari percakapannya dengan para hakim, terbukti bahwa gerakan ini sebenarnya mempunyai aspek dakwah. Karena, beliau memandang bahwa sebagai sarana terakhir untuk membangunkan kebijaksanaan dan kesadaran hati nurani manusia, beliau harus menghancurkan berhala-berhala itu, kecuali berhala yang besar, dan meletakkan kapak di bahunya, supaya mereka dapat mengadakan penyelidikan lebih jauh tentang sebab-sebab insiden itu. Dan, sebagai ternyata pada akhirnya, mereka hanya akan menganggap pandangan itu sebagai ejekan, dan sama sekali tak akan percaya kalau penghancuran itu dilakukan oleh berhala besar itu. Dengan demikian, beliau dapat menggunakan hal itu untuk mendakwahkan pendapatnya dengan mengatakan, "Menurut pengakuan kalian sendiri, berhala besar itu tidak mempunyai kekuasaan sedikit pun, lalu mengapa kalian menyembahnya?" Ini menunjukkan bahwa sejak awal mula, para nabi hanya menggunakan logika dan argumen sebagai senjata mereka yang ampuh, dan itu senantiasa membawa hasil. Kalau tidak, maka apa artinya penghancuran berhala ketimbang bahaya bagi nyawa Ibrahim? Tindakan ini tentulah mengandung makna besar bagi misinya, dari sisi pandang alasan penalaran, sehingga beliau sedia mengorbankan nyawanya untuk itu.
3. Ibrahim sadar bahwa sebagai akibat tindakannya, hidupnya akan berakhir. Karenanya, menurut anggapan umum, ia mestinya akan terguncang, menyembunyikan diri, atau sekurang-kurangnya berjanji akan berhenti membuat "lelucon." Tetapi, ia sepenuhnya menguasai semangat dan emosinya. Misalnya, ketika memasuki kuil berhala, ia mendekati setiap berhala dan menawarkan mereka makan, secara olok-olok. Setelah ternyata sia-sia, beliau menjadikan isi kuil berhala itu onggokan penggalan kayu, dan menganggap semua itu sebagai sesuatu yang benar-benar biasa saja, seakan-akan hal itu tidak akan disusul oleh kematiannya sendiri. Ketika muncul di pengadilan, beliau menjawab pertanyaan mereka, "Sesungguhnya seseorang telah melakukannya. Pemimpinnya ialah yang ini. Karena itu, tanyakanlah kepadanya jika ia dapat berbicara." Lelucon demikian di hadapan pengadilan hanya dapat muncul dari seseorang yang siap sedia menghadapi segala kesudahan tanpa rasa takut atau ngeri dalam hatinya.
Bahkan, yang lebih menakjubkan lagi ialah sikap Ibrahim pada saat ia ditempatkan pada pelontar, dan mengetahui dengan pasti bahwa ia segera akan berada di tengah api -yang kayu bakarnya tadinya dikumpulkan orang Babilon untuk melaksanakan upacara suci keagamaan, dan yang nyalanya membubung dengan dahsyat sehingga bahkan burung rajawali tak berani terbang di atasnya. Pada saat itu, Malaikat Jibril turun dan langit seraya menyatakan kesediaannya untuk memberikan segala pertolongan kepada Ibrahim. Jibril berkata, "Apa keinginanmu?" Ibrahim menjawab, "Aku mempunyai hasrat. Tetapi aku tak dapat memberitahukannya kecuali kepada Tuhanku." (lihat Al-'Uyun, hal. 136; al-Amali, oleh Shaduq, hal. 274; Bihar al-Anwar, hal. 35). Jawaban ini jelas menunjukkan keluhuran dan kebesaran rohani Ibrahim.
Namrud menanti dengan cemas dan gelisah karena dendam kesumatnya kepada Ibrahim. Ia begitu ingin melihat bagaimana api menelannya. Pelontar disiapkan. Dengan satu sentakan, tubuh Ibrahim, si jawara tauhid Ilahi, terlempar ke api. Namun, kehendak Tuhan Ibrahim mengubah neraka buatan itu menjadi taman dengan cara yang amat mengejutkan mereka, sehingga Namrud tanpa sengaja berpaling kepada Azar dan berkata, "Tuhan Ibrahim mencintainya." (Tafsir al-Burhan, III, hal. 64).
Walaupun adanya kejadian itu, Ibrahim tak dapat mendakwahkan agamanya dengan kebebasan penuh. Akhirnya, pemerintah waktu itu memutuskan, setelah bermusyawarah, untuk membuang Ibrahim. Ini membuka suatu bab baru dalam kehidupan Ibrahim dan menjadi awal perjalanannya ke Suriah, Palestina, Mesir, dan Hijaz.
BAB BARU DALAM KEHIDUPAN IBRAHIM
Pengadilan di Babilonia memutuskan membuang Ibrahim dari negeri itu. Beliau pun meninggalkan tempat kelahirannya, lalu pergi ke Mesir dan Palestina. Amaliqa, yang menguasai wilayah-wilayah itu, menyambutnya dengan hangat dan memberikan kepadanya banyak hadiah, satu di antaranya adalah seorang budak perempuan bernama Hajar.
Istri Ibrahim, Sarah, belum melahirkan anak hingga saat itu. Oleh karena itu, ia menyarankan Ibrahim supaya kawin dengan Hajar, dengan harapan kiranya beliau diberkati seorang putra, yang akan menjadi sumber kebahagiaan dan kesenangan mereka. Perkawinan dilangsungkan, dan Hajar kemudian melahirkan seorang putra yang diberi nama Ismai'l. Itu terjadi jauh sebelum Sarah hamil dan melahirkan seorang putra yang diberi nama Ishaq. (Lihat Sa'd as-Su'ud, hal. 41-42; Bihar al-Anwar, hal. 118).
Setelah beberapa waktu, sebagaimana diperintahkan Allah, Ibrahim membawa Isma'il dan ibunya, Hajar ke selatan (Mekah), dan menempatkan mereka di suatu lembah yang tak dikenal. Lembah ini tak berpenghuni, dan hanya kafilah dari Sunah ke Yaman dan sebaliknya yang memasang tenda di sana. Bila tidak ada kafilah, tempat ini benar-benar sepi dan hanya merupakan hamparan pasir membakar sebagaimana bagian-bagian tanah Arab lainnya.
Tinggal di tempat yang mengerikan itu sungguh sulit bagi seorang perempuan yang telah melewatkan hari-harinya di negeri Amaliqa. Terik gurun yang membakar dan anginnya yang amat sangat panas memberikan bayangan kematian di hadapan mata. Ibrahim sendiri sangat prihatin atas kenyataan ini. Sementara memegang kendali hewan tunggangannya dengan maksud mengucapkan selamat tinggal kepada istri dan anaknya, air matanya mengalir, dan ia berkata kepada Hajar, "Wahai.Hajar! Semua ini dilakukan menurut perintah Yang Mahakuasa, dan perintah-Nya tak dapat dilawan. Bersandarlah pada rahmat Allah, dan yakinlah bahwa Ia tak akan menistakan kamu." Kemudian Ibrahim berdoa kepada Allah dengan penuh khusyuk, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dan buah-buahan kepada penduduknya yang beriman kepada Allah dan Hari Kemudian." (QS, al-Baqarah, 2:126).
Ketika sedang menuruni bukit, Ibrahim menengok ke belakang dan berdoa kepada Allah untuk mencurahkan rahmat-Nya kepada mereka.
Walaupun perjalanan tersebut tampak sangat sulit dan susah, di kemudian hari terbukti bahwa hal itu mengandung makna yang amat penting. Di antaranya adalah pembangunan Ka'bah yang memberikan dasar yang agung bagi para penganut tauhid untuk mengibarkan panji penyembahan kepada Allah Yang Esa di Arabia, dan merupakan fundasi gerakan keagamaan yang besar, yang akan mendapat bentuk di kemudian hari, yaitu gerakan besar yang beroperasi di negeri ini melalui pengunci segala nabi.
BAGAIMANA TERJADINYA SUMBER AIR ZAM-ZAM
Ibrahim mengambil kendali hewan tunggangannya. Dengan air mata, ia memohon diri kepada tanah Mekah, Hajar, dan putranya. Tetapi, tak berapa lama kemudian, makanan dan minuman yang dapat diperoleh si anak dan ibunya habis, dan air susu Hajar pun kering. Kondisi putranya mulai merosot. Air mata mengucur dari ibu yang terasing itu dan membasahi pangkuannya. Dalam keadaan amat bingung, ia bangkit berdiri lalu pergi ke bukit Shafa. Dari sana ia melihat suatu bayangan dekat bukit Marwah. Ia pun lari ke sana. Namun, pemandangan palsu itu sangat mengecewakannya. Tangisan dan keresahan putranya tercinta menyebabkan ia lari lebih keras ke sana ke mari. Demikianlah, ia berlari tujuh kali antara bukit Shafa dan Marwah untuk mencari air, tetapi pada akhirnya ia kehilangan semua harapan, lalu kembali kepada putranya.
Si anak tentulah telah hampir sampai pada nafasnya yang terakhir. Kemampuannya meratap atau menangis sudah tiada. Namun, justru pada saat itu doa Ibrahim terkabul. Ibu yang letih lesu itu melihat bahwa air jernih telah mulai keluar dari bawah kaki Isma'il. Sang ibu, yang sedang menatap putranya dan mengira ia akan mati beberapa saat lagi, merasa sangat gembira melihat air itu. Ibu dan anak itu minum sampai puas, dan kabut putus asa vang telah merentangkan bayangannya pada kehidupan mereka pun terusir oleh angin rahmat Ilahi.(lihat Tafsir al-Qummi, hal. 52; Bihar al-Anwar, II, hal. 100).
Munculnya sumber air ini, yang dinamakan Zamzam, sejak hari itu, membuat burung-burung air terbang di atasnya, membentangkan sayapnya yang lebar sebagai penaung kepala ibu dan anak yang telah menderita itu. Orang-orang dari suku Jarham, yang tinggal jauh dari lembah ini, melihat burung-burung yang beterbangan ke sana ke mari itu. Mereka lalu menyimpulkan bahwa telah ada air di sekitarnya. Mereka mengutus dua orang untuk mengetahui keadaan itu. Setelah lama berkeliling, kedua orang itu sampai ke pusat rahmat Ilahi itu. Ketika mendekat, mereka melihat seorang wanita dan seorang anak sedang duduk di tepi suatu genangan air. Mereka segera kembali dan melaporkan hal itu kepada para pemimpin sukunya. Para anggota suku itu segera memasang kemah mereka di sekitar sumber air yang diberkati itu, dan Hajar pun terlepas dari kesulitan dan pahitnya kesepian yang dideritanya. Isma'il tumbuh sampai dewasa sebagai pemuda yang ramah. Ia pun mengadakan ikatan perkawinan dengan wanita suku Jarham. Dengan demikian, ia beroleh dukungan dan menjadi anggota masyarakat mereka. Oleh karena itu, dari sisi ibu, keturunan Isma'il berfamili dengan suku Jarham.
MEREKA BERTEMU KEMBALI
Setelah meninggalkan putranya yang tercinta di tanah Mekah atas perintah Allah Yang Mahakuasa, kadang-kadang Ibrahim berpikir untuk pergi melihat putranya. Pada salah satu perjalanannya, ia sampai di Mekah dan mendapatkan bahwa putranya tidak ada di rumah. Waktu itu, Isma'il telah tumbuh menjadi lelaki dewasa dan telah kawin dengan seorang gadis suku Jarham. Ibrahim bertanya kepada istri Ismai'l, "Di mana suamimu?" Perempuan itu menjawab, "Ia telah keluar untuk berburu!" Kemudian Ibrahim bertanya kepadanya apakah ia mempunyai makanan. Ia menjawab tak ada.
Ibrahim sangat sedih melihat kekasaran istri putranya. Ia lalu berkata kepada menantunya itu, "Bila Isma'il pulang, sampaikan kepadanya salam saya, dan katakan pula kepadanya untuk mengganti ambang pintu rumahnya." Kemudian Ibrahim pergi.
Ketika kembali, Isma'il mencium bau ayahnya. Dari keterangan istrinya, ia menyadari bahwa orang yang telah mengunjungi rumahnya adalah memang ayahnya. Ia juga mengerti bahwa pesan yang ditinggalkan ayahnya berati bahwa beliau (Ibrahim) menghendakinya menceraikan istrinya sekarang dan menggantikannya dengan yang lain, karena beliau memandang istrinya yang sekarang tidak pantas menjadi kawan hidupnya.(lihat Bihar al-Anwar, hal. 112, sebagaimana dikutip dari Qishash al-Anbiya'))
Mungkin dapat dipertanyakan mengapa setelah melakukan perjalanan sejauh itu, Ibrahim tidak menunggu sampai putranya pulang dari berburu, tapi langsung pergi lagi tanpa melihatnya. Para sejarawan menerangkan bahwa Ibrahim pulang dengan tergesa-gesa karena telah berjanji kepada Sarah bahwa beliau tak akan tinggal lama di sana. Setelah perjalanan ini, ia juga diperintahkan Allah Yang Mahakuasa untuk melaksanakan suatu perjalanan lagi ke Mekah, untuk mendirikan Ka'bah guna menarik hati orang yang beriman tauhid .
Al-Qur'an menyatakan bahwa menjelang hari-hari terakhir Ibrahim, Mekah telah tumbuh menjadi sebuah kota, karena, setelah menyelesaikan tugasnya, ia berdoa kepada Allah, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala." (QS Ibrahim, 14:35). Dan ketika tiba di gurun Mekah, ia berdoa, "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman sentosa." (QS al-Baqarah, 2:126).
|